BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbahasa adalah aktivitas sosial.
Karenanya kegiatan berbahasa baru terwujud bila melibatkan manusia. Menurut
Wijana (1996:45), “Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama
menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan
bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan
tuturnya.” Allan (dalam Wijana:1996:45) menambahkan bahwa, “Setiap peserta
tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap
kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual.” Dalam berbicara, tidak selamanya
berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual. Tetapi seringkali pula
berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal.
Bila sebagai retorika tekstual,
pragmatik membutuhkan prinsip kerjasama (cooperative principle). Dalam
komunikasi yang wajar, seorang penutur mengartikulasikan ujaran untuk mengomunikasikan
sesuatu kepada lawan bicara dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa
yang disampaikan. Pertuturan yang wajar terbentuk karena penutur dan lawan
tutur melakukan kerjasama. Setiap peserta pertuturan sama-sama menyadari bahwa
ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.
Lebih tegas lagi, dipaparkan Wijana
(1996:46) bahwa ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara
dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar. Sementara sebagai
retorika personal, menurut Wijaya (1996:55), pragmatik membutuhkan prinsip
kesopanan. Prinsip ini, berkaitan dengan diri sendiri dan orang lain. Penutur
harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar lawan tuturnya sebagai individu
merasa diperlakukan secara santun.
Prinsip kesopanan diterapkan dalam
tindak tutur sesuai beberapa indikator. Karenanya, diperlukan strategi
pemilihan tingkat kesopanan yang berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan
parameter pragmatik. Wijana (1996:63) memberikan contoh bahwa dalam memerintah
pembantu, tuturan yang dipilih adalah Sapulah
lantai ini, meskipun dinilai kurang sopan dibanding Apakah Anda bersedia menyapu lantai ini? Berdasarkan hal-hal di
atas, dalam makalah ini penulis mencoba membahas persoalan yang berkaitan
parameter pragmatik.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah
Pengertian Dari Parameter Pragmatik?
2. Bagaimana
Skala Kesantunan Menurut Para Ahli?
3. Bagaimana
Teori Muka Menurut Para Ahli?
1.3
Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan referensi tentang
Parameter Pragmatik bagi penulis maupun pembaca. Dan juga untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pragmatik.
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan dan referensi tentang
Parameter Pragmatik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pangertian Parameter Pragmatik
Semakin panjang bentuk tuturan
semakin besar pula keinginan penutur untuk berlaku sopan kepada lawan tuturnya.
Hal-hal yang yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki
tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter pragmatik.
Parameter ialah garis-garis yang
menentukan atau menandakan keluasan atau batasan sesuatu, keluasan yang ada
batasan-batasannya. Contoh kalau ditinjau secara objektif, parameter kesetiaan
seseorang berkisar dalam ruang bulatan yang berlegar dan bertindih; watak-watak
didalamnya bertingkah laku secara konkrit dalam lingkungan.
Kesopanan adalah amalan tingkah laku
yang mematuhi peraturan-peraturan sosial yang terdapat dalam sesebuah
masyarakat. Seseorang yang tidak mematuhi peraturan-peraturan soaial ini
dianggap tidak sopan. Perilaku yang menonjolkan ketidaksopanan lebih merujuk
kepada perilaku seseorang yang ditonjolkan secara personal yang boleh menimbulkan
suasana konflik dan ketegangan yang lebih besar. Dengan kata lain setiap orang
harus bertindak dengan penuh kesopanan antara satu dengan lainnya berdasarkan
norma kesopanan dalam sesebuah masyarakat.
Parameter pragmatik harus diamati
secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan muka (face).
Menurut Goffman (Wardaugh, 1986, 284; Allan, 1986, 10) dalam percakapan
yang kooperatif para peserta percakapan menerima ‘muka’ yang ditawarkan oleh
lawan bicaranya. Adapun yang dimaksud dengan ‘muka’ dalam hal ini adalah citra
diri yang harus diperhatikan oleh lawan tutur. ‘Muka’ yang ditawarkan itu
berbeda-beda bergantung pada situasi pembicaraan. Muka yang ditawarkan penutur
memiliki dua kemungkinan, yakni muka positif dan muka negatif. Muka positif
terwujud bila ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan, dan sebagainya. Yang
dimiliki oleh seseorang dihargai oleh lawan tuturnya. Muka negatif adalah
keinginan seseorang untuk tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan
tuturnya. Dalam konteks pemakaian bahasa dua aspek ini dapat menimbulkan
sesuatu yang tidak mengenakkan bila pemuasan salah satu aspek mengandung
pelanggaran terhadap yang lain.\
2.2 Skala Kesantunan
Terdapat tiga skala pengukur
peringkat kesantunan berbahasa yang sampai kini masih banyak digunakan sebagai
dasar acuan penelitian kesantunan berbahasa dengan kerangka linguistik
pragmatik. Skala kesantuan tersebut adalah:
2.2.1 Skala Kesantunan (Leech)
Dalam model kesantunan Geoffrey
N. Leech (1993), dijelaskan bahwa setiap maksim interpersonal di dalam kerangka
pragmatik dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan dari
sebuah tuturan.
a.
Cost-benefit
scale atau
skala kerugian – keuntungan.
Skala
kesantunan
berbahasa ini menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur di dalam peristiwa pertuturan tertentu.
Semakin berdampak
dari sebuah tuturan tersebut merugikan bagi diri si penuturnya sendiri, maka
cenderung akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,
semakin tuturan tersebut menguntungkan bagi diri penuturnya sendiri dan
merugikan bagi sang mitra tuturnya, akan semakin dianggap tidak santunlah
tuturan itu.
b. Optionality scale atau skala pilihan.
Skala kesantunan ini menunjuk kepada banyak atau sedikitnya
alternative pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada
mitra tutur dalam praktik bertutur yang sebenarnya. Semakin pertuturan
memungkinkan si penutur atau mitra tutur itu menentukan pilihan yang banyak dan
leluasa, akan semakin dianggap santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan untuk menentukan
pilihan bagi penutur dan mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap
sangat tidak santun.
c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan.
Skala
kesantunan berbahasa ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak
langsungnya maksud dari sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat
langsung, to the point, apa adanya, tidak berbelit-belit,
tidak banyak basa-basi, akan cenderung dianggap semakin tidak santunlah tuturan
yang demikian itu. Demikian juga sebaliknya, semakin tidak langsung maksud
sebuah tuturan, semakin banyak isyarat yang dikandung di dalamnya, akan
dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.
d. Authority scale atau skala keotoritasan atau skala
kekuasaan.
Skala
kesantunan berbahasa ini menunjuk kepada hubungan status sosial antara si
penutur dan si mitra tutur yang terlibat di dalam proses pertuturan tertentu.
Ditegaskan dalam skala kesantunan berbahasa ini, bahwa semakin jauh distansi
atau jarak peringkat sosial (rank rating) antara si penutur dengan si
mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin sopan dan
kian santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara
kedua belah pihak tersebut dalam bertutur, akan cenderung berkuranglah
peringkat kesantunan tuturan yang digunakan itu dalam keseluruhan aktivitas
bertutur itu.
e. Social distance scale atau skala jarak sosial.
Skala kesantunan ini menunjuk kepada peringkat hubungan
sosial antara si penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam pertuturan. Ada
kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial diantara keduanya,
akan menjadi semakin berkurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin
jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin
santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan orang-orang yang belum benar-benar
dekat dan akrab, orang sudah sangat sering menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan
yang cenderung informal dan cenderung akrab. Maka lalu yang muncul adalah
tuturan-tuturan yang dipandang tidak sopan dan kurang santun, penuturnya juga
akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun sama sekali.
2.2.2 Skala Kesantunan (Brown Dan Levinson)
Model
kesantunan berbahasa dari Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala penentu tinggi
rendahnya peringkat kesantunan berbahasa yang muncul di dalam sebuah pertuturan
sebenarnya. Ketiga skala tersebut adalah :
a. Skala peringkat jarak sosial antara
penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer)
Skala ini banyak ditentukan oleh
parameter perbedaan di dalam hal umur, jenis kelamin, dan latar belakang
sosiokultural seseorang. Berkenaan dengan perbedaan umur antara si penutur dan mitra
tutur itu, lazimnya didapatkan kenyataan bahwa semakin tua umur seseorang
peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Begitu pula
sebaliknya. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya juga memiliki
peringkat kesantunan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang
berjenis kelamin pria atau laki-laki. Latar belakang sosiokultural seseorang
memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan yang
dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung
memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan
orang.
b. Skala peringkat status sosial antara
penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau
sering kali disebut juga dengan peringkat kekuatan atau kekuasaan (power
rating).
Skala pengukuran kesantunan ini didasarkan pada kedudukan
asimetrik antara si penutur dan si mitra tutur.
c. Skala peringkat tindak
tutur atau tindak ujar, atau sering pula disebut dengan rank rating.
Skala
kesantunan berbahasa itu lengkapnya berbunyi, the degree of imposition
associated with the required expenditure of goods or services didasarkan
atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya
di dalam sebuah praktik pertuturan yang sesungguhnya. Sebagai contohnya, di
dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan
melewati batas waktu bertamu yang wajar, akan dikatakan sebagai orang yang
tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada
masyarakat tutur tertentu. Namun demikian, hal yang sesungguhnya persis sama
akan dapat dianggap sangat wajar terjadi di dalam situasi yang tidak sama.
Misalnya saja, pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran
gedung-gedung dan kompleks perumahan, bisa saja orang berada di rumah orang
lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan, dia
tetap akan dianggap sopan, bahkan ketika dia menjerit-jerit karena ketakutan
sekalipun.
2.2.3 Skala Kesantunan (Robin Lakoff)
Robin
Lakoff (1973) menyatakan adanya tiga ketentuan pokok untuk dapat dipenuhinya
skala kesantuan di dalam kegiatan bertutur di dalam masyarakat. Ketiga
ketentuan itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut : (1)
skala formalitas (formality scale), (2) skala ketidaktegasan (besitancy
scale), dan (3) skala kesamaan atau kesekawanan (equality
scale). Berikut uraian dari setiap skala kesantunan tersebut satu demi
satu.
a. Skala formalitas (formality
scale), dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa benar-benar
nyaman dan sungguh kerasan di dalam keseluruhan proses kegiatan bertutur,
tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan
angkuh atau congkak terhadap pihak lainnya. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing
peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan mampu menjaga jarak yang
sewajarnya dan senatural-naturalnya antara pihak yang satu dengan pihak
lainnya. Tanpa memperhatikan hal tersebut, tuturan yang muncul dipastikan tidak
akan memenuhi standar kesantunan berbahasa yang berlaku di dalam masyarakat
tuturnya.
Contoh:
a)
“Cepat bawa
bukunya kemari, lama sekali!”
b)
“Maaf, pintunya dibuka
saja agar udaranya dapat masuk!”
Tuturan yang pertama
bukan merupakan Skala formalitas karena tuturan tersebut tidak santun dan
angkuh. Sedangkan tuturan yang kedua merupakan Skala formalitas karena pada
tuturan kedua penutur menuturkan tuturan tersebut dengan santun dan menggunakan
kata maaf pada saat menuturkan tuturan tersebut.
b. Skala ketidaktegasan atau keraguan (besitancy
scale) atau sering kali disebut juga dengan pilihan (optionality
scale), menunjukan bahwa agar si penutur dan mitra tutur dapat saling
merasa nyaman dan tetap kerasan di dalam aktivitas bertutur sapa,
pilihan-pilihan dalam bertutur itu harus selalu diberikan oleh kedua belah
pihak secara benar-benar memadai dan proporsional. Dalam hal ini, orang tidak
diperbolehkan untuk bersikap terlalu tegang dan teramat kaku di dalam aktivitas
bertutur yang sesungguhnya, karena akan dianggap sebagai orang yang tidak
santun di dalam masyarakat bahasanya.
Contoh:
a)
“Jika Anda tidak
keberatan dan tidak sibuk, saya harap Anda bisa datang dalam acara peresmian
gedung nanti sore!”
b)
“Jika ada waktu
dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”
Kedua
tuturan di atas merupakan tuturan yang termasuk dalam Skala ketidaktegasan
karena tuturan di atas adalah tuturan yang santun dan memberikan pilihan kepada
mitra tuturnya untuk melakukannya atau tidak.
c.
Skala
kesekawanan atau kesamaan, menunjukan bahwa agar dapat berciri sopan santun,
orang harus senantiasa ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara
pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Agar dapat tercapai maksud yang
demikian itu, penutur harus dapat menganggap sang mitra tutur benar-benar
sebagai teman atau sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu
sebagai sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat
bagi piak lainnya, rasa kesekawanan, rasa solider, dan rasa kesejajaran sebagai
salah satu prasyarat hadirnya kesopanan atau kesantunan akan dapat tercapai
dengan benar-benar baik. Sayang bahwa yang umumnya terjadi pada masyarakat,
rasa kesejajaran atau kesederajadan ini telah banyak melemah atau bahkan
meluntur. Denga begitu pula, kesantunan yang ada di dalam masyarakat itu juga
semakin rendah peringkat atau kadarnya. Inilah keprihatinan, yang barangkali
perlu segera, mendapat tanggapan dari setiap warga masyarakat Indonesia, agar
kita-kita ini tidak tercerabut dari budaya kita sendiri.
Contoh:
a)
“Tulisanmu rapi
sekali, hampir sama seperti tulisanku.”
b)
“Tarianmu tadi sungguh memukau.”
c)
“Mengapa nilai sastramu tetap jelek?”
Tuturan pertama dan kedua di atas merupakan tuturan
yang memenuhi Skala persamaan atau kesekawanan karena dalam tuturannya, penutur
membuat mitra tutur merasa senang. Sedangkan, tuturan ketiga sebaliknya karena
membuat mitra tuturnya tidak merasa senang.
2.3 Teori Muka oleh Goffman, Brown, dan Levinson
Menurut Brown
dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya
bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “Muka” atau “muka,” baik milik
penutur, maupun milik mitra tutur. “Muka,” dalam hal ini bukan dalam arti rupa
fisik, namun “Muka” dalam artian public image, atau mungkin padanan
kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Konsep Muka
ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius
terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada Muka, dalam
tradisi Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah
penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu.
Muka, merupakan “pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah gelar akademik yang
diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh yang
memberi. Oleh karena itu, si pemilik Muka itu haruslah berhati-hati dalam
berprilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman
(1967) menyebutkan bahwa Muka adalah atribut sosial, maka Brown dan Levinson
(1987) menyebutkan bahwa Muka merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh
setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, Muka kemudian dipilah
menjadi dua jenis: Muka dengan keinginan positif (positive face), dan Muka
dengan keinginan negatif (negative face). Muka positif terkait dengan nilai
solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, Muka
negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari
gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya
itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa Muka memiliki nilai seperti yang telah
disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya
adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai Muka
itu.
Kesantunan
itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki
arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki
arti berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara
penutur dan mitra tutur. Konsep Muka di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan
kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa
mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara Muka jika
penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara dosen
dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam
berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan
mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, pacar, dan
sebagainya).
1.
Muka
Positif (Positive Face)
Sebagaimana
telah disebutkan bahwa Muka positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban
antara penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang sopir
angkot berikut ini (mohon maaf jika contoh ini mengandung kata-kata kasar):
Sopir A: Mus, apa kamu udah
dapat kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi itu?
Sopir B: Eh.. pemabuk, sejak
kapan kau peduli persoalanku? Belum nih, tidak tahu
mungkin mereka sudah bakar
Sopir
A: Ah… kasih aja uang 150 biar mereka urus secepatnya
Sopir B: Astaga, kau pikir polisi itu mertua kau?
Sudah aku coba, tapi mereka tidak mau.
Sejenak
jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar,
tidak sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi
seperti ini, dengan alasan bahwa mereka adalah teman dekat, dan mungkin
berpendidikan rendah. Tidak ada yang salah dengan pendapat-pendapat ini. Dari
aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang ganjil; tetapi dari aspek
kesantunan, melalui konsep Muka positif, cara berkomunikasi ini adalah untuk
memelihara Muka masing-masing.
Tuturan
sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan
sopir B) terjaga. Tuturan sopir B, dengan mengatakan “pemabuk” adalah untuk
menunjukan kedekatan jarak sosial, rasa kesekawanan, sehingga secara psikologis
tidak ada jarak pula. Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh penggunaan
bahasa semacam di atas memiliki nilai Muka positif. Seandainya sopir B merespon
pertanyaan sopir A dengan irama sopan semacam “belum ada kabar pak…” maka tentu
saja jarak sosial antara mereka menjadi renggang, dan Muka mereka terancam.
Maksud
dari mengancam Muka (face threatening) adalah mengancam jati diri sebagai
sahabat dekat, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam Muka adalah kerenggangan
jarak sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun,
atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep Muka positif.
2.
Muka
Negatif (Negative Face)
Berbeda
dengan Muka positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya
nilai-nilai keakraban, ketakformalan, maka muka negatif ini di mana penutur dan
mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan
antara dua orang penumpang angkot yang tidak saling kenal antara satu sama lain
di bawah ini:
Penumpang A: Maaf, numpang
tanya, apakah Sasa masih jauh dari sini?
Penumpang B: Wah mas, ini
sekarang sudah sampai di Kastela. Memangnya mas mau turun di mana?
Penumpang A: Saya tadi bilang
ke sopir kalau saya mau turun di Sasa. Maaf, jadi apakah Sasa masih jauh?
Penumpang B: Bukannya masih
jauh mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik mas turun di sini saja,
nanti naik angkot lagi dari selatan, nanti bilang turun di Sasa.
Penumpang
A: Waduh, terima kasih ya
Penumpang
B: Terima kasih kembali
mas
Sangat
terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam
percakapan ini menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat
dari penggunaan kata “maaf” yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A.
Penggunaan dan pengulangan penggunaan kata “maaf” oleh penumpang A ini untuk
menjaga Muka negatif penumpang B. Artinya, penumpang A tidak ingin terkesan
akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah individu penumpang B.
Demikian
pula dengan penggunaan kata “mas” yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang
merupakan sapaan sopan untuk penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang,
bukan masyarakat asli. Dengan menggunakan dan mengulang kata “mas”, penumpang B
berusaha untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jati diri penumpang A sebagai
individu yang dihargai atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang dan
bukan masyarakat asli.
Melalui
dua contoh yang menjelaskan dua konsep Muka di atas, jelaslah bahwa dalam
berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan
mitra tutur. Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak
pada tingkat keakraban atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial,
dan strata akademik.
3.
Pengancaman
Muka (Face Threatening Act)
Sebagaimana
telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa
dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap Muka
orang lain (Yule, 2006:104). Muka seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang
penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan
individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri (hal.106).
Pengancaman
Muka melalui tindak tutur (speech act)
akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai
dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana terjadi interaksi
antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua: Heh… ini kan sudah malam,
kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?
Muda:
Saya, om. Kami minta maaf.
Dalam
konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman Muka
dengan mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman Muka karena
jarak sosial (usia dan mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh.
Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam Muka mitra tutur muda, bahkan Muka
penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial
dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon
dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan Muka (face saving act); yaitu dengan cara melakukan kesantunan negatif
dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan
Muka negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari keinginan Muka
penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak terganggu.
Pengancaman
terhadap Muka ini juga bersifat positif dan juga negatif. Jika penutur
dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman Muka bersifat
negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang
jauh, maka pengancaman Muka bersifat positif.
Intinya,
Muka positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur
sebagaimana kedekatan sosial antara mereka; Muka negatif adalah keinginan untuk
bebas dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra
tutur. Jika keinginan Muka positif tidak tercapai dalam bertutur, maka
ancamannya pada Muka positif. Dan jika keinginan Muka negatif tidak tercapai,
maka ancamannya pada Muka negatif. Konsekuensi logis dari ancaman Muka ini
adalah kehilangan Muka (loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah
malu atau hilang harga diri.
ANALISIS
JENIS KESANTUNAN NYA
1.
Siska :
“Cepat bawa bukunya kemari, lama
sekali!”
2.
Putri :
“Maaf, pintunya
dibuka saja agar udaranya dapat masuk!”
3.
Direktur A :
“Jika Anda tidak keberatan dan
tidak sibuk, saya harap Anda bisa datang dalam acara
peresmian gedung nanti sore!”
4.
Direktur B :
“Jika ada waktu dan tidak
mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”
5.
Mutia : Tiara, kamu bawa kamus bahasa
Inggris gak?
Tiara : Bawa.
Mutia : Aku boleh pinjam ngga?
Soalnya aku ada pelajaran bahasa Inggris.
Tiara : Jam keberapa?
Mutia : Jam kelima habis istirahat.
Kalo kamu?
Tiara : Aku udah tadi, jam pertama.
6.
Guru :
Apa tugasnya sudah selesai?
Murid :
Belum Bu! (teriak beberapa murid)
Guru :
Apa kalian mengalami kesulitan?
Murid : Iya Bu, saya kesulitan dalam mengerjakan soal
tentang struktur teks fabel. Bagimana membedakannya Bu?
Guru : Untuk mengerjakannya, kalian harus tahu terlebih
dahulu apa pengertian dari masing-masing struktur teks dalam teks fabel. Coba
kamu sebutkan apa saja struktur teks yang ada dalam fabel!
Murid : Struktur teks dalam fabel ada empat pertama
orientasi, komplikasi, resolusi, dan koda. Tetapi saya lupa pengertiannya, Bu.
Guru : Coba di baca lagi buku paketmu tepat di materi
fabel, ada lengkap di sana.
Murid : Baik Bu.
7.
A : “Tolong siapkan berkas – berkas
untuk saya meeting nanti sore, dan juga laporan keuangan.”
B : “Baik pak.”
8.
Ibu
RT : “Tolonggg... Tolonggg.. rumah saya
kebakaran!!”
Warga : “Ayo kita bantu, ambil air dari mesjid.”
Ibu RT : “Apa saya boleh menginap sementara waktu di
rumah bu Sri?”
Ibu Sri : “Silahkan bu, rumah saya terbuka untuk
ibu. Lagian dirumah pun saya hanya bertiga.”
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Parameter Pragmatik (Kesantunan) merupakan hal-hal yang yang
mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang
berbeda. Dalam parameter pragmatik terdapat skala-skala kesantunan, antara lain
:
1. Skala Kesantunan Leech
a. Skala
kerugian-keuntungan
b.
Skala Pilihan
c. Skala
Ketidaklangsungan
d. Skala
Keotoritasan
e. Skala
Jarak Sosial
2. Skala Kesantunan Brown dan Levinson
a. Skala
Peringkat Jarak Sosial
b. Skala
Peringkat Status Sosial
c.
Skala Peringkat Tindak Tutur
3. Skala Kesantunan Robin Lakoff
a. Skala
Formalitas
b. Skala
Ketidaktegasan
c.
Skala Peringkat Tindak Tutur
Dalam parameter pragmatik juga terdapat
teori Muka yaitu antara lain : Muka Positif, Muka Negatif, dan Pengancaman
Muka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa parameter pragmatik memberikan batasan
tentang kesantunan berbahasa, apakah bahasa itu santun atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta:
Lingkar Media.
Wijana, I
Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta:
Penerbit Andi.