TEORI MIMETIK
Menurut
Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling
primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles.
Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra
itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya
sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah
kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa
karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun
dunianya sendiri (Ratna, 2011: 70).
Pandangan Plato
mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide
yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato
menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang
sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada
manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin
untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato adalah hal yang
tetap atau tidak dapat berubah, misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia
hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat
dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak
dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens,
1979: 13).
Berdasarkan
pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang rendah
seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian
kesepuluh. Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya
karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka
dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul
karena mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan
menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’.
Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy
dari ide, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya
(dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia
dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja,
lemari, dan lain sebagainya mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat
disentuh pancaindra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan
yang dapat disentuh pancaindra (seperti yang dihasilkan tukang), Mereka oleh
Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg, 1989: 16).
Menurut
Plato mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi
sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik
yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung
terhadap dunia ide (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan pandangan Plato
bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual
seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan, seperti yang telah dijelaskan di
muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung
menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984: 221).
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan
Plato tentang mimetik yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato
terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia
karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai
sesuatu yang bisa meninggikan akal budi.
Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, ‘penyucian terhadap
jiwa’. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa
khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984:
221).
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan
mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif
untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk
baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica,
Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana
uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep
umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau
penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi
‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat
Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih
tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik
dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles
menganggap ide-ide manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah
yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat
berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh
Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk
adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk
tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens,
1979: 13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat
ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat
keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince
pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi
oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik
tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi
merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas,
dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy
secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi
mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan
indrawi dapat disentuh dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg,
1989: 18).
Konsep mimetik zaman reanaissance
tersebut kemudian tergeser pada zaman romantic.
Aliran romantic justru memperhatikan
kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah
karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan
lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi
juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya
persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa
saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama
memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia (diakses tanggal 3 Mei 2012).
Pendekatan ini
menghubungkan karya sastra dengan alam semesta (dalam istilah Abrams: univers).
Universe ‘aiam semesta’ ini berkaitan dengan aspek dan masalah yang cukup luas
dan rumit, tidak hanya menyangkut masalah ilmu sastra, tetapi juga antara lain
filsafat, psikologi, dan sosiologi dengan segala aspeknya. Sesuai dengan judul
tulisan ini, masalahnya dibatasi pada ilmu sastra saja.
Dalam ilmu sastra
barat, masalah ini dimulai oleh filsuf plato dan muridnya, namun yang sekaligus
bertentangan pendapat, yaitu aristoteles. Hamper dua ribu tahun yang lalu
mereka telah memperdebatkan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan,
dan persoalan itu masih tetap relevan sampai sekarang.
Dalam hubungan karya
sastra dengan nimesis ‘kenyataan; plato berpendapat bahwa sastra hanyalah
tiruan dan tidak menghasilkan kopi yang sungguh-sungguh. Seni hanyalah mweniru
dan membayangkan hal yang tampak; jadi, berdirih dibawah kenyataan. Seni
seharusnya trutbful ‘penuh kebenaran’ dan seorang seniman harus modest’ ‘rendah hati’; seniman cenderung mengumbar
nafsu, padahal manusia yang berasio seharusnya meredakan nafsu.
Adapun aristoteles
berpendapat bahwa seni justru membuat suci jiwa manusia lewat proses yang
disebut katbarsis. Penyair tidak meniru kenyataan; seniman mencipta dunia
sendiri dengan probability ‘kemungkinan-kemungkinan ; Karya seni menjadi sarana
pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang
aspek atau situasi manusia yang tak dapat diungkapkan dengan jalan lain.
Hubungan universe
dengan seni dalam pandangan berbagai kebudayaan boleh dikatakan sejalan. Dalam
sejarah kebudayaan barat, hubungan seni dan alam cukup sentral. Pada abad
pertengahan manusia hanya mengambil contoh ciptaan Tuhan yang mutlak baik dan
indah. Juga dalam kebudayaan Arab, penyair terikat pada ciptaan Tuhan, yang
merupakan model sempurna; dalam Al-Quran kebenaran diberikan melalui pemakaian
bahasa yang tidak ada yang dapat mengunggulinya; dalam puitika Cina umumnya
aspek mimetik ditekankan pada seni. Tata semesta kebenaran kesejarahan dan
kemanusiaan harus menjadi teladan bagi sastra. Ciptaan dalam arti rekaan murni
tidak dianggap sebgai seni. Dalam puisi Jawa kuno, khususnya dalam
kakawin,aspek mimetic, yaitu alam sebagai teladan, bagi penyair sangat kuat
pengaruhnya. Penyair mencari ilham dalam keindahan alam dengan berkelana
menelusuri keindahan dan bagian yang paling puitik dalam arti luas. Kakawin d8isamakan
dengan unio mystica, yaitu persatuan manusia dengan Tuhan melalui keindahan.
Apa bila dicari kaitan
antara creation dan mimesis dari segi bahasa, maka penganut teori creatio
menganggap karya seni sebagai sesuatu yang baru, suatu ciptaan dalam arti yang
sungguh-sungguh. Ini dianut oleh kaum strukturalis yang menganggap karya sastra
sebagai dunia kata-kata atau heterokosmos, sesuatu yang otonom dalam kenyataan.
Adapun teori mimesis
menganggap karya sastra sebagai pencerminan, peniruan, atau pembayangan
realitas. Pendapat ini kebanyakan dianut oleh peneliti sastra aliran Marxis -
sosiologi sastra - dan - peneliti lain yang menganggap karya seni sebagai
dokumen social. Sarana yang terkuat dalam pengarahan manusia pada penafsiran
kenyataan ialah bahasa. Bahasa tidak saja mengintegrasikan berbagaibidang
pengalaman menjadi keseluruhan yang berarti, tetapi juga memungkinkan mengatasi
kenyataan sehari-hari.
Dalam sastra, sebuah
roman misalnya, adalah suatu ketangangan antara kenyatan danj rekaan. Misalnya,
dalam setting ‘latar’ sejarahnya cocok dengan informasi factual yang kita
miliki mengenai waktu. Kenyataan itu diresapi oleh pemberian makna yang
diharapkan pembaca, kemiripan dengan kenyataan; ini bukanlah suatu tujuan,
tetapi sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang mungkin lebih dari
kenyataan tetapi justru kenyataan itu yang memberi makna pada kenyataan atau
kenyataan ilmu.
Dalam tulisan sejarah,
seorang sejarahwan mencoba membei makna pada peristiwa melalui penggumpulan dan
pengupasan data yang digarap seteliti serta selengkap mungkin. Akan tetapi,
dalam pemberian makna ia harus bersifat selektif dan objektif serta terikat
pada model naratif dan ragam fiksional yang ada bagi dia selaku penanggap
kebudayaan tertentu. Sementara itu, sastrawan memberi makna loewat kenyataan
yang dapat diciptakannya denagan bebas, asal tetap dalam rangka konvensi
kebebasan, kesastraan, dan sosio-kebudayaan yang dipahami pembaca. Dunia yang
diciptakannya adalah dunia alternatif dan alternatif terhadap kenyataan hanya
mungkin dibayangkan berdasarkan pengetahuan kenyataan itu sendiri (Ibid, 1984:
219-248).