Kubah
Ahmad Tohari
KAWAN! Maukah kau menemaniku
duduk-duduk santai mengintip datangnya fajar atau melihat senja yang
melukis cakrawala? Aku yakin, kau akan betah duduk berlama-lama meski
tak ada makanan atau minuman di samping kita. Akan aku tunjukkan
manifestasi keindahan yang akan tampak sangat indah jika dilihat dari
tempat itu. Keindahan yang hanya akan membuatmu melongo melebarkan bibir
dan mengucapkan Subhanallah. Pasti.
Aku ingin, ada kubah di atas rumahku. Memiliki rumah
seperti musala atau masjid adalah mimpiku; melihat orang-orang tanpa
sungkan keluar masuk untuk melaksanakan kewajiban mereka, berzikir, atau
membaca Alquran. Betapa damainya jika di setiap ruang disesaki gema
Alquran. Aku ingin melihat rumahku selalu ramai, seperti masjid yang tak
pernah sepi jika panggilan salat berkumandang.
Lama aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya
kepada orang tua. Tetapi, sampai saat ini, kesempatan itu belum juga
datang. Tak jarang keinginan itu aku bawa lelap. Bahkan, ketika aku
terbaring sakit, ibuku mengatakan bahwa aku pernah mengigau ingin
memiliki kubah. Tetapi, waktu itu, dalam waktu sadar, aku tetap tak bisa
mengatakannya. Kata-kataku tercekat oleh penyakit amandel yang
bersarang di tenggorokanku.
Setelah dua bulan sembuh, kesunyian menggergoti
kehidupanku. Aku tak sempat mengatakan bahwa aku ingin membangun kubah
di atas rumahku. Bapak telah pergi ke Jakarta untuk menjadi seorang
buruh bangunan. Ibu, tanpa persetujuan dan sepengetahuan bapak, bersedia
menerima ajakan paman berangkat ke luar negeri untuk menjadi TKW.
Napasku dititipkan kepada kakek dan nenek.
Lagi-lagi, kesepian kian menginjakku. Dua bulan setelah
kepergian ibu, kakek menutup mata. Di rumah itu hanya tinggal dua kisah,
aku dan nenek.
***
Subuh belum lama pergi. Aku percikkan segelas air ke
mukaku dan bergegas menunaikan salat subuh di masjid. Setelah itu, aku
tidak langsung pulang, kawan! Telah menjadi kebiasaanku menaiki tangga
menara masjid, lalu mengintip fajar sambil bersandar pada kubahnya.
Kadang, percikan cahaya fajar mengingatkanku pada orang
tua yang dulu selalu mengajakku salat berjamaah. Aku ingat saat-saat ibu
mencium tangan bapak dan aku mencium tangan keduanya setelah salat. Ya, kawan! Selama masih ada mereka, aku selalu bangun sebelum ayam jantan berkokok dua kali.
Begitulah! Setelah percikan cahaya itu meluas atau ada
suara lantang nenek menyuruhku turun, pertanda air hangat untuk mandi
sudah siap, barulah aku turun. Jika demikian, nenek selalu menyambutku
dengan marah-marah. Nenek mengatai aku dengan sebutan anak tuli karena
tak pernah mendengar larangannya.
“Sudah berapa kali aku katakan, jangan naik ke sana,”
katanya sambil menenteng kupingku. Aku meringis. Meskipun perempuan tua
itu terbilang rapuh, tak ada kekuatan di tanganku untuk melepas
tangannya di kupingku. Aku tak bisa berkata “ah” sekalipun.
Di perigi tersedia sebak air hangat. Nenek melucuti pakaianku satu per satu. Byur, byur! Secebok-dua cebok air mengguyur badanku. Nenek mengerayami tubuhku dengan sabun dan mengucek-ucek rambutku.
Byur! Secebok air kembali tumpah. Segar sekali!
Matahari terus menebar kehangatan. Di atas lincak, nenek menyiapkan nasi jagung dengan lauk dhukduk
(ikan asin). Kadang, aku tak berselera melahap hidangan nenek. Lauknya
sering gosong. Tapi, nenekku adalah yang terbaik di antara orang-orang
yang pernah berada di dekatku. Nenek masih begitu tegar di usianya yang
senja. Aku bangga dengannya, kawan!
“Nek, aku kangen bapak, kangen ibu.”
“Makan dulu! Nanti kau terlambat sekolah. Tak baik berbicara sambil makan,” katanya sambil membungkus secepok
nasi bekalku ke sekolah dengan daun kelapa. Nenek selalu memotong keluh
rinduku. Entahlah! Dia selalu ber-sikap acuh ketika aku bertutur
tentang bapak atau ibu.
***
Kawan, hari ini bapakku akan pulang dari Jakarta. Kata
nenek, bapak akan membawa oleh-oleh yang banyak dan segepok uang untuk
membangun rumahku baru. Inilah kesempatanku untuk mengutarakan
keinginanku, meminta bapak membangun kubah di atas rumahku yang baru. Di
dapur nenek menyiapkan masakan-masakan enak demi menyambut kedatangan
anak satu-satunya itu. Dhukduk berganti opor ayam, kangkung
berganti bayam, dan nasi jagung berganti nasi putih. Kami bertiga akan
melahap bersama-sama dalam satu tawa. Tapi, sayang, ibu dipastikan tak
ada. Oh, betapa lengkapnya kebahagiaanku jika ada ibu.
Belum habis asap membubung di dapur, bapak duduk di
kursi rumah. Aku dan nenek dibuat terkejut. Kerinduanku membuncah. Aku
berlari, melabrak, dan jatuh di pelukannya. Dua kantong plastik hitam di
tangan bapak terlepas. Bapak, betapa aku merindukanmu. Aku ingin bapak
tak jauh dari langkahku. Aku ingin bapak dan ibu seperti dulu, selalu
mengajakku salat bersama. Aku sudah bisa salat dengan benar sebagaimana
diajarkan bapak. Aku hafal doa iftitah. Aku lancar mengaji. Aku juga
fasih mengatakan nama “Allah” dengan nada “L” tebal. Aku tidak lagi
mengeluarkan suara “Aulah” jika menebalkan nama-Nya.
Bapak membawakanku oleh-oleh tiga buah guci ukuran
kecil. Guci-guci itu lucu dan imut, kawan. Dua guci berbentuk gajah dan
satunya lagi berbentuk panda sedang duduk bersila. Selain itu, bapak
membawakanku sebuah pistol yang akan mengaung gagang bila pelatuknya
ditarik dan di sepanjang sisinya berpendar cahaya kerlap-kerlip.
“Anakku harus menjadi jagoan.” Bapak mengusap rambutku. Dia mengangkatku tinggi-tinggi. Aku merasa terbang.
Malamnya, aku ingin pipis. Tetapi, aku takut keluar dan
mengajak nenek pergi ke selokan. Di luar sana bapak mengata-ngatai nenek
dengan nada kasar. Bapak marah setelah tahu bahwa ibu bekerja tanpa
sepengetahuannya. Kadang, suara itu diselingi bunyi benda jatuh.
Entahlah, apa itu! Aku ngeri. Aku takut. Aku berlari ke atas ranjang dan
menutup seluruh tubuhku dengan selimut.
Tanpa disadari, aku terlelap dalam kecekaman. Yang
terakhir aku ingat adalah ketika aku membungkus diri dalam selimut. Aku
membuka mata. Lelah sekali. Cahaya matahari menembus kamar dan jatuh
pada dua kakiku. Astaga! Aku belum salat subuh. Di mana nenek? Kenapa
dia tak membangunkanku.
Aku mencari keberadaannya. Ternyata, nenek duduk di
emperan. Matanya masih sembap. Tak ada kata terucap. Mematung sendiri.
Aku kembali teringat pada suara benda pecah tadi malam.
“Nenek?” Nenek memelukku. Erat.
Aku merasa ada air yang jatuh di punggungku. Ya! Air mata nenek. Mengapa nenek menangis? Mungkinkah karena hal semalam.
“Bapak di mana?” Aku sempat lupa kalau saat ini bapak berada di rumah.
Nenek tak segera menjawab. Aku terjebak dalam kebingungan. Tapi, akhirnya….
“Bapakmu sudah balik ke Jakarta,” katanya sambil me-nahan air yang hampir kembali tumpah.
Oh, kawan, suara pecahan itu kembali terngiang
di batok kepalaku. Secepat itukah bapak pergi? Padahal, aku belum sempat
mengatakan bahwa aku ingin memiliki kubah. Bapak… oh,
mungkin, bapak belum melangkah amat jauh. Segera aku berlari
meninggalkan nenek sendirian. Aku menaiki menara masjid. Tetapi, saat
tiba di atas kubah, aku tak melihat jejaknya. Yang aku temukan hanyalah
keindahan surya. Sayang, aku tak sempat memikirkan keindahan itu.
Kepergian bapak terlalu memukul hati, seperti suara pecahan tadi malam.
***
Kedatangan ibu menumbuhkan asaku setelah kepergian bapak
dua bulan lalu. Tak banyak memang oleh-oleh yang dibawanya. Tetapi,
kata nenek, ibu membawa segepok uang lebih banyak daripada yang bapak
bawa. Ibu berjanji membelikanku baju baru, seragam, tas, serta sepatu
baru demi menyambut kenaikan kelasku dari kelas III ke kelas IV MI. Ibu
juga akan menuruti segala permintaanku.
“Ibumu akan membangun rumah baru untuk kita,” kata nenek sebelum aku beranjak tidur.
“Nek, kalau nenek tak keberatan, malam ini aku ingin tidur bersama ibu.” Aku kangen belaian lembut ibu.
“Tentu, Nduk. Sebentar, aku akan memanggilnya.” Nenek pergi setelah mengusap kepalaku.
Tak lama berselang, ibuku datang. Dia telentang miring
di samping kiriku. Matanya menatap teduh. Aku sangat rindu sekali
tatapan mata itu. Aroma parfum merebak dari sekujur tubuhnya. Malam itu
usia ibu bertambah muda. Banyak memang perbedaan yang aku temui setelah
ibu bekerja menjadi TKW. Ibu lebih cantik, lebih menarik, dan
penampilannya lebih elegan. Selama kedatangannya, aku tak pernah melihat
ibu memakai daster panjang lagi serta kerudung yang selalu melingkar di
kepalanya. Kini dia lebih suka memakai kaus ketat yang membuat dua buah
dadanya terlihat mengeras. Setiap pagi ibu juga tak pernah lupa
melumuri bibirnya dengan lipstik dan memakai bedak yang membuat pipinya
merona.
“Kau sudah besar rupanya,” kata ibu dengan lembut.
“Ibu, katanya, ibu akan membuatkanku rumah yang baru?” Aku tak sabar lagi mengatakan keinginanku.
“Bukan hanya rumah baru, tapi juga istana yang megah untukmu.” Bibirnya mengembang.
“Bolehkan aku meminta sesuatu?”
“Tentu, Sayang.”
“Aku ingin ibu membangun kubah pada rumahku nanti.”
Ibu terkejut.
“Kubah? Untuk apa?”
“Aku ingin melihat matahari terbit dan tenggelam dari
atas kubah. Aku ingin merasa berada di musala atau di dalam masjid
ketika berada di rumah.” Aku tak bisa mengatakan bahwa sesungguhnya
hidupku kesepian. Aku ingin rumahku layaknya masjid yang selalu
didatangi banyak orang.
“Jika itu memang keinginanmu, akan aku laksanakan.”
Tangannya semakin lembut membelai rambutku. Segitu mudahkah permintaanku
dikabulkan? Ah, masa bodoh.
“Apakah kau mau aku dongengkan sebuah cerita tentang negeri seberang?” tambahnya lagi.
“Ya! Aku mau.”
Ciri khas ibu sebagai penutur sejati tetap tidak hilang.
Malam itu ibu mengantarku pada mimpi yang indah. Ceritanya
melambungkanku ke angkasa. Memetik satu bintang di sana. Namun, saat
subuh berkumandang hingga fajar dalam separo perjalanan, ibu masih
mendengkur dengan kerasnya. Dia tidak seperti dulu yang selalu
membangunkanku untuk melaksanakan salat subuh bersama.
***
Mimpiku selama ini sudah terwujud, kawan. Rumahku kini
serupa masjid. Jika dilihat dari depan, belakang, samping kanan, atau
samping kiri pasti orang-orang akan menyebut rumahku adalah masjid.
Penduduk yang bukan orang asli di kampungku sering terkecoh saat hendak
menunaikan salat. Tapi, dengan senang hati, aku persilakan saja mereka
menunaikan kewajibannya. Aku tak perlu lagi memanjat menara hanya untuk
duduk-duduk di samping kubah untuk menyambut datangnya fajar atau
melambaikan tangan pada senja. Kubah itu berwarna biru langit. Seperti
kebanyakan kubah lainnya, di atasnya ada lambang bulan sabit yang
menimang bintang.
Kawan, seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, mimpiku
itu berdiri di atas kesunyianku, jauh sebelum rumah dan kubahku
dibangun, ibu kembali merantau ke negeri orang. Kata dia, majikannya
hanya memberi waktu setengah bulan untuk pulang ke Indonesia. Itu pun
ditempuh dengan negosiasi yang sangat alot.
Tetap saja di tengah keramaian orang yang melaksanakan
salat itu, di sudut yang berbeda aku merasakan sebuah kesepian.
Kedudukan bapak dan ibu tak bisa tergantikan oleh mereka. Aku harap,
jika aku sudah bosan menatap kisah kesendirianku, rumahku akan menjadi
masjid. Oh, betapa indahnya. (*)
.
.
Fandrik Ahmad adalah koordinator penerbitan, publikasi,
dan kepustakaan Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.
Cerpen ini didedikasikan untuk Sanie B. Kuncoro. Semoga cepat sembuh
sehingga bisa berkunjung ke Sumenep.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar