Total Tayangan Halaman

Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2015

Cerpen

Sebuah Warna

Aku ingat, semua berawal dari kejadian itu, 13 Agustus sepuluh tahun yang lalu…
Angin membelai wajahku dengan lembut, seolah ingin aku mengurungkan niatku. Dari sini aku menatap Kota Lama, tempat perantauanku. Kota ini berada di daerah dataran tinggi yang memiliki hawa sejuk. Memang sudah disebut kota, akan tetapi, tempat termodern di kota ini adalah restoran cepat saji yang berada di belakang gedung tempatku berdiri. Aku berdiri di puncak sebuah gedung perkantoran berlantai empat, gedung tertinggi di kota ini.
Oh ya, bukan hanya di puncak, aku berdiri di pinggir-puncak gedung, memandang jauh kota yang masih bisa dibilang asri ini. Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap melakukan hal terakhir dalam hidupku. Hal terakhir yang akan mengakhiri hidupku yang menyedihkan ini. Namun, sebelum aku sempat melakukan apapun, lagi-lagi aku mendengar lagu itu. Menghentikan hal yang akan kulakukan. Entah seseorang memutar lagu itu atau hanya terngiang di telingaku.
“Hey!” suara serak memekakkan meneriakiku dari bawah. Aku menunduk untuk melihat makhluk yang meneriakiku. “Ngapain di situ?” logat Bataknya terdengar kental. Dari puncak gedung ini, sulit untuk melihat sosok itu secara detail. Yang aku tahu, suaranya serak menggelegar dan badannya kekar tinggi.
“Nggak, Bang. Cuma lihat-lihat pemandangan,” ujarku.
“Apa?” si Kekar kembali berteriak. Aku mengutuk dalam hati, beraninya dia berteriak-teriak kepada orang yang berniat bunuh diri. Sempat terbersit di pikiranku untuk meloncat langsung ke arahnya, namun urung.
“LIHAT-LIHAT PEMANDANGAN BANG! PEMANDANGAN!” aku balas berteriak.
“OH! BETA KIRA ANTUM MAU BUNUH DIRI!” Aku melongo. Sepertinya si Kekar ini keturunan Arab-Ambon yang sudah lama tersesat di Sumut.
“NGGAK KOK BANG!” aku meyakinkannya.
“YA UDAH, BETA PERGI DULU! ANTUM BAIK-BAIK YA!” dengan ucapan itu, si Kekar pun berlalu.
Aku menghela napas. Dari arah belakang, ku dengar tawa cekikikan yang familiar. Aku menoleh. Yap, dia di sana. Pemuda kurus tinggi yang sepantaran denganku, mengenakan pakaian favoritnya, jaket kain putih polos di atas seragam sekolah. “Konyol,” sindirnya.
“Apa? Memangnya kau punya ide yang lebih baik?” tanyaku kesal.
“Tentu, apa saja selain ini,” ujarnya santai seraya merentangkan tangan.
“Kau sungguh-sungguh tidak tahu seberapa berat bebanku,” aku menatapnya marah.
“Kau bercanda? Apa yang kau tanggung sekarang belum tergolong beban. Kau hanya melebih-lebihkan,”
“Kau tahu apa?” pemuda ini benar-benar membuatku kesal, dia sama sekali tidak membantu. Dia telah merusak moodku.
“Semuanya,” dia tersenyum. Senyumnya tulus, tapi aku tidak tahan lagi. Aku berharap bisa memukul wajahnya, namun aku lebih memilih undur diri dan ke luar dari gedung itu.
Keesokan harinya di sekolah, saat istirahat, aku menghidupkan MP3. Bolehkah membawa MP3 ke sekolah? Aku tak peduli. Aku memutar lagu yang kemarin menggagalkan rencanaku. Lagu lawas yang dilantunkan oleh Louis Armstrong. “Kau tidak jadi mati?” suara itu memecah suasana santaiku. Ya, orang yang gagal bunuh diri juga boleh bersantai. Aku menoleh, ku temukan pemuda bertampang menyebalkan yang satu lagi, duduk di sebelahku. Perawakannya sama seperti pemuda kemarin, tetapi wajahnya lebih suram, dan jaketnya hitam. Mereka berdua adalah kembaran yang menjengkelkan.
“Tak bisakah kalian berdua berhenti menggangguku?” ujarku tak peduli.
“Tidak,” dia tersenyum, berbeda dengan kembarannya, senyum pemuda yang satu ini menyeramkan.
Seolah-olah dia sudah menyarankan bunuh diri kepada ratusan pelajar depresi lain.
Aku berusaha mengalihkan perhatianku dari pemuda itu. Memandang papan tulis kelas yang berisi rumus-rumus fisika, membuat ingatanku kembali ke masa lalu, masa-masa ketika aku belum memiliki masalah apapun. Enam tahun masa SD yang ceria, dan tiga tahun masa SMP yang membosankan. Yah, tentu saja aku memiliki masalah di masa-masa itu, namun tidak sepelik sekarang. Aku dibesarkan di keluarga sederhana, satu-satunya laki-laki dari empat bersaudara. Akibatnya, aku tidak dapat bermanja-manja. Ayahku membesarkanku untuk menjadi penggantinya nanti, menjadi penjaga keluarga. Hasilnya, aku tumbuh menjadi pribadi unggul, atau itulah yang aku perlihatkan kepada orang-orang. Didikan khusus dan sifat asliku malah memunculkan sesuatu yang lain, aku terlatih menjadi manusia bermuka dua.
Saat SD, aku bahkan sudah mengerti bahwa kebanyakan manusia itu munafik. Bahkan, aku bisa menipu mereka dengan berpura-pura menjadi anak polos yang pintar dan rajin. Pintar. Ya, aku bersyukur terlahir pintar. Hal pertama yang ku ingat dan ku mengerti adalah psikologi dan manusia. Memanipulasi kedua hal ini memberikanku kesenangan tersendiri. Namun, aku memiliki kekurangan terbesar, aku kesulitan untuk belajar di luar keinginanku. Kebanyakan pelajaran di sekolah hanya tertinggal di sekolah, dan saat ini, aku tidak dapat mengingat satu pun hal yang ku pelajari saat SD. Ini adalah sumber terbesar masalah-masalahku.
SMP, aku tersedot dunia teknologi. Menjadikan diriku tertutup dari dunia luar. Akibatnya, hidupku menjadi membosankan dan tanpa masalah. Satu-satunya masalah adalah sosialisasi dengan manusia lain. Masa SMA, aku masuk ke SMA yang unggul prestasi dan karakter. Kondisi memaksaku untuk beradaptasi dan menjadikanku pribadi yang lebih baik. Atau setidaknya, lebih baik bagi orang lain. Dan di sinilah, Ketua Organisasi Sekolah mempercayaiku untuk menjadi anggotanya di kelas sepuluh.
“Sudahlah, Go, rencana besarnya baru saja gagal,” si Jaket Putih muncul entah dari mana dengan senyum menyindir. Dia memang suka menyindir. Menyebalkan.
“Kau juga mengganggunya, Ka,” Go juga tersenyum. Melihat mereka berdua kompak tersenyum membuatku semakin risih. Aku lebih memilih mendengar lagu favorit Ibuku dan meresapi maknanya. And I think to myself, what a wonderful world.
Bel jam terakhir telah mengakhiri kegiatan para siswa pada pukul empat, sepuluh menit lalu. Pelajaran terakhir kelasku adalah olahraga, jadi kami melanjutkan bermain basket three-on-three. Sampai kapan? Sampai lelah. Rupanya tak ada satu orang pun yang menyadari rencanaku kemarin. Aku bersyukur. Karena jika ada yang tahu, mungkin aku sudah ditanya-tanya dan dinasihati. Juga, aku bisa berolahraga dengan tenang. Aku suka olahraga, berkonsentrasi penuh dan bergerak cepat. Itu semua membuatku melupakan masalah jenis apapun. Akan tetapi, dalam permainan yang sedang berlangsung, aku tak begitu all out. Aku menjaga agar pemain lain tak terluka fisik dan mental karena permainanku.
“Lihat pahlawan kita, dia bermain dengan hati-hati dan menjaga perasaan lawannya. Manis sekali,” suara menyebalkan itu muncul lagi.
“Hentikan, dia bermain dengan anggun,” suara lain menyanggah. Bagus, batinku. Mereka ada di sini, keduanya. Aku menoleh ke arah suara tersebut. Benar saja, mereka berdua duduk dengan manis di bawah ring, mengamatiku. Gerakanku terhenti, ingin rasanya aku melempar mereka dengan bola yang saat ini berada dalam kuasaku.
“Tom!” seseorang meneriakkan namaku tepat sebelum sesosok tangan lincah menyambar dan mengambil bola dari tanganku. Aku lengah.
Sang pemilik tangan berlari dan menghindar dengan cepat, menuju wilayah three-point dan mencetak angka dengan indah. “Kau lengah, Tom,” ujar sosok itu, seolah aku perlu diberi tahu. Dia tersenyum sumringah, memamerkan deretan giginya yang putih. Ditambah kulitnya yang hitam, giginya terlihat semakin putih. Dia adalah Sandy, pemain basket ternama dari kelasku.
“Maaf, maaf. Kau mau coba lagi?” tanyaku.
“Siapa takut,” balasnya. Saat ini rasa kesalku memuncak. Aku akan bermain all out, mengikuti kata Go.
Malamnya, aku terkapar di kamar kosku dan tak sanggup bergerak sedikit pun. Permainan tadi sore dimenangkan oleh timku dengan selisih tipis. Timku berhasil membuat Sandy kewalahan dan dengan berbekal tekad dan semangat, kami menang. Walaupun aku harus pulang dengan sejumlah luka. Aku kelelahan namun bahagia. Aku telah membuktikan diri bahwa aku juga bisa menunjukkan sisi lain dari diriku. Belum lama aku menikmati saat-saat kemenangan, ingatanku memberitahu bahwa ada setumpuk tugas dan ulangan untuk esok hari. Aku mengutuk diri, aku bahkan juga belum mencuci seragam untuk besok.
“Kau lihat? Kalau tadi kau tidak mengiyakan ajakan bermain basket hingga sore, kau akan punya banyak waktu untuk dirimu sendiri,” Go memasuki kamarku.
“Toh kau hanya menyanggupi demi sopan santun.”
Aku tak menjawab, Go ada benarnya. “Sudahlah, dia melakukan hal yang benar. Kau pada awalnya memang ingin bermain juga kan?” Ka kali ini angkat bicara.
Akan dimulai, debat dua saudara ini akan dimulai. Tak ada pilihan lain, aku memejamkan mata, berusaha menikmatinya.
“Kau tidur Tom? Sebaiknya kau cuci dulu bajumu,” suara Ka menyuruhku.
“Kali ini aku setuju,” Go mengiyakan. Dengan satu tarikan napas berat, aku membuka mata dan mencoba untuk duduk. Rasa nyeri menjalari sekujur tubuhku.
“Biar ku ingatkan kau Tom, kau terlalu baik. Mungkin kau menyanggah bahwa kebaikan itu hanya pribadimu yang lain, topengmu,” Go memulai. “Tapi tak sadarkah kau bahwa topeng itu sudah melekat di wajahmu dan menjadi wajah aslimu saat ini?” aku berdiri melawan rasa nyeri, menuju kotak P3K di atas lemari.
“Kau hanya membohongi dirimu sendiri, Tom, kau adalah orang baik seutuhnya,” Go melanjutkan.
“Apa salahnya menjadi orang baik?” Ka angkat bicara. Aku mengoleskan obat pereda rasa nyeri nyaris ke seluruh persendianku. “Dia membuat orang lain bahagia. Jika seluruh orang di dunia seperti dia, dunia akan bahagia!” senyum tulus Ka mengembang di bibirnya.
“Bodoh,” Go membantah dengan ketus. “Apa gunanya jika orang lain bahagia tetapi kau sendiri sengsara? Tom, kau tidak hidup untuk membahagiakan seluruh orang di muka bumi. Karena kau mencoba untuk itu, kau melupakan kebahagiaanmu, inilah yang kau sebut masalahmu kan? Kau benar-benar terlalu baik, Tom,” aku yang sedang mengisi ember cucian dengan air dan deterjen hanya manggut-manggut.
“Menjadi baik itu bukan masalah, namun terlalu baik…” Go menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku mengaduk-aduk cucian. Selama ini aku lebih memilih untuk setuju dengan Ka, untuk diam dan mengorbankan keinginanku. Simpel memang, namun inilah sebabnya aku berharap tak pernah dilahirkan. Melihat bagaimana manusia yang rela berkorban tak dihargai dan hanya terlupakan, sementara yang rakus terekam oleh sejarah dan diingat sepanjang masa. Ketika yang baik mengalah, mereka yang licik menginjak-injak harga diri mereka. Aku merasakan dunia ini sudah membusuk hingga ke akar-akarnya. Karena itu, aku ingin kabur dari semua ini. Dari segala hal yang memuakkan ini.
Merasa cukup mendengar ceramah Go, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar barang sebentar. Berharap angin malam dapat meredakan galauku. Aku meraih jaket favoritku dan MP3, lantas meninggalkan Go dan Ka di kamar kosku. Aku menyusuri trotoar di sepanjang kompleks pertokoan. Tidak banyak toko yang masih buka, itu pun sudah bersiap-siap menyimpan dagangan mereka. Aku memutar lagu itu lagi, lagu yang kemarin menyelamatkanku. Aku merenung, lagu ini menceritakan bahwa hidup tidak hanya hitam dan putih, tetapi masih banyak warna lain. Akankah aku juga dapat menemukan warna lain itu? Entahlah.
Beberapa langkah kemudian aku melihat siluet ganjil. Beberapa orang berdiri dan satu orang duduk bersandar dengan kedua tangan terangkat, seperti hendak menghalau sesuatu. Aku tahu persis adegan ini, dan aku mencoba untuk tak peduli. Akan tetapi, hatiku berkata lain. Lagu yang terus mendayu di telingaku seakan memintaku untuk menjadi warna bagi orang lain. Benar juga, bukankah mereka bilang aku harus menjadi warna yang ingin ku lihat di dunia ini? Aku memberanikan diri melangkah ke tempat kejadian.
Beberapa meter dari sana, sosok-sosok itu terlihat dengan jelas. Mereka adalah teman-teman SMA-ku, dan masih berseragam. Tiga yang berdiri berwajah seram dan awut-awutan. Sedangkan yang terduduk berwajah cemas dan berkeringat dingin. Aku telah bersiap akan skenario terburuk malam ini: aku mencoba menolong -diplomasi gagal- orang yang ku tolong melarikan diri -aku digebuki sampai hancur. Walaupun begitu, aku ingin melihat warna itu.
“Maaf, ada apa ini?” tanyaku sopan.
“Bukan urusanmu,” si Seram nomor satu menjawab bengis.
“Me-mereka memaksaku untuk menyerahkan semua ta-tabunganku,” si Cemas menjawab terbata-bata.
“Begitu?” aku mencoba untuk tetap tenang. “Kau tahu, kita berasal dari SMA yang sama, maka kenapa kita saling memalaki?” aku mencoba sok bijak. “Akan lebih baik jika kita saling membantu dan– ”
“Halah!” si Seram nomor dua menyela kasar, menarik kerah bajuku.
“Kau tahu? Kami sudah pernah menghajar ustad! Kau bukan apa-apa,” aku menelan ludah. Ini dia, diplomasi gagal.
Dalam sekejap mata, suara hantaman terdengar diiringi dengungan panjang. Aku terhuyung-huyung ke belakang, mencoba tetap berdiri. Si Cemas sudah berdiri, mungkin dia sudah bersiap kabur.
Ku perhatikan wajahnya, rautnya masih cemas, akan tetapi, matanya berbinar dan bibirnya tersenyum. Aku bersyukur dia masih di sampingku, rasanya seperti menemukan harapan, seperti menemukan… warna baru. “Aku tak akan kabur,” ujarnya memperhatikan ekspresiku. “Berkatmu aku peroleh yang aku cari, sekarang giliranku membantumu,” dia menyunggingkan senyum gila. Aku mengangguk. Kami menghadap para penindas, berhitung dalam hati. Dalam satu gerakan serempak, kami menerjang.
Senja, 13 September tahun sekarang.
Aku menutup telepon. Itu dari pemborong terakhir hari ini. Usaha mebelku akhir-akhir ini laku keras. Aku menatap foto itu, foto yang menambatkanku ke kenangan sepuluh tahun lalu. Foto yang mengingatkanku akan sebuah warna. Bukan hanya hitam dan putih, seperti saudara kembar itu. Yang sejatinya adalah Ego dan Etika, mereka selalu bertengkar di dalam kepalaku. Namun sekarang, aku berdamai dengan mereka dan menambahkan warna-warna baru dalam hidupku.

Cerpen Karangan: Taris Hibatul Haqqi


Jumat, 27 November 2015

Pendekatan Mimetik Pada Karya Sastra

TEORI MIMETIK
 
           Menurut Abrams (1976), Pendekatan Mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri (Ratna, 2011: 70).
    Pandangan Plato mengenai mimetik sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah,  misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu. Ide mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah (Bertnens, 1979: 13).
          Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep ide tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan, ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari ide, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari, dan lain sebagainya mampu menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh pancaindra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh pancaindra (seperti yang dihasilkan tukang), Mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan (Luxemberg, 1989: 16).
           Menurut Plato mimetik hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimetik yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ide  (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan, seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew, 1984: 221).
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi.  Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, ‘penyucian terhadap jiwa’. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984: 221).
Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai kenyataan.  Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens, 1979: 13).
Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat disentuh  dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg, 1989: 18).
Konsep mimetik zaman reanaissance tersebut kemudian tergeser pada zaman romantic. Aliran romantic justru memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan. Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian mengenai perbuatan-perbuatan manusia  (diakses tanggal 3 Mei 2012).
Pendekatan ini menghubungkan karya sastra dengan alam semesta (dalam istilah Abrams: univers). Universe ‘aiam semesta’ ini berkaitan dengan aspek dan masalah yang cukup luas dan rumit, tidak hanya menyangkut masalah ilmu sastra, tetapi juga antara lain filsafat, psikologi, dan sosiologi dengan segala aspeknya. Sesuai dengan judul tulisan ini, masalahnya dibatasi pada ilmu sastra saja.
Dalam ilmu sastra barat, masalah ini dimulai oleh filsuf plato dan muridnya, namun yang sekaligus bertentangan pendapat, yaitu aristoteles. Hamper dua ribu tahun yang lalu mereka telah memperdebatkan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan, dan persoalan itu masih tetap relevan sampai sekarang.
Dalam hubungan karya sastra dengan nimesis ‘kenyataan; plato berpendapat bahwa sastra hanyalah tiruan dan tidak menghasilkan kopi yang sungguh-sungguh. Seni hanyalah mweniru dan membayangkan hal yang tampak; jadi, berdirih dibawah kenyataan. Seni seharusnya trutbful ‘penuh kebenaran’ dan seorang seniman harus modest’  ‘rendah hati’; seniman cenderung mengumbar nafsu, padahal manusia yang berasio seharusnya meredakan nafsu.
Adapun aristoteles berpendapat bahwa seni justru membuat suci jiwa manusia lewat proses yang disebut katbarsis. Penyair tidak meniru kenyataan; seniman mencipta dunia sendiri dengan probability ‘kemungkinan-kemungkinan ; Karya seni menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau situasi manusia yang tak dapat diungkapkan dengan jalan lain.
Hubungan universe dengan seni dalam pandangan berbagai kebudayaan boleh dikatakan sejalan. Dalam sejarah kebudayaan barat, hubungan seni dan alam cukup sentral. Pada abad pertengahan manusia hanya mengambil contoh ciptaan Tuhan yang mutlak baik dan indah. Juga dalam kebudayaan Arab, penyair terikat pada ciptaan Tuhan, yang merupakan model sempurna; dalam Al-Quran kebenaran diberikan melalui pemakaian bahasa yang tidak ada yang dapat mengunggulinya; dalam puitika Cina umumnya aspek mimetik ditekankan pada seni. Tata semesta kebenaran kesejarahan dan kemanusiaan harus menjadi teladan bagi sastra. Ciptaan dalam arti rekaan murni tidak dianggap sebgai seni. Dalam puisi Jawa kuno, khususnya dalam kakawin,aspek mimetic, yaitu alam sebagai teladan, bagi penyair sangat kuat pengaruhnya. Penyair mencari ilham dalam keindahan alam dengan berkelana menelusuri keindahan dan bagian yang paling puitik dalam arti luas. Kakawin d8isamakan dengan unio mystica, yaitu persatuan manusia dengan Tuhan melalui keindahan.
Apa bila dicari kaitan antara creation dan mimesis dari segi bahasa, maka penganut teori creatio menganggap karya seni sebagai sesuatu yang baru, suatu ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Ini dianut oleh kaum strukturalis yang menganggap karya sastra sebagai dunia kata-kata atau heterokosmos, sesuatu yang otonom dalam kenyataan.
Adapun teori mimesis menganggap karya sastra sebagai pencerminan, peniruan, atau pembayangan realitas. Pendapat ini kebanyakan dianut oleh peneliti sastra aliran Marxis - sosiologi sastra - dan - peneliti lain yang menganggap karya seni sebagai dokumen social. Sarana yang terkuat dalam pengarahan manusia pada penafsiran kenyataan ialah bahasa. Bahasa tidak saja mengintegrasikan berbagaibidang pengalaman menjadi keseluruhan yang berarti, tetapi juga memungkinkan mengatasi kenyataan sehari-hari.
Dalam sastra, sebuah roman misalnya, adalah suatu ketangangan antara kenyatan danj rekaan. Misalnya, dalam setting ‘latar’ sejarahnya cocok dengan informasi factual yang kita miliki mengenai waktu. Kenyataan itu diresapi oleh pemberian makna yang diharapkan pembaca, kemiripan dengan kenyataan; ini bukanlah suatu tujuan, tetapi sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca yang mungkin lebih dari kenyataan tetapi justru kenyataan itu yang memberi makna pada kenyataan atau kenyataan ilmu.
Dalam tulisan sejarah, seorang sejarahwan mencoba membei makna pada peristiwa melalui penggumpulan dan pengupasan data yang digarap seteliti serta selengkap mungkin. Akan tetapi, dalam pemberian makna ia harus bersifat selektif dan objektif serta terikat pada model naratif dan ragam fiksional yang ada bagi dia selaku penanggap kebudayaan tertentu. Sementara itu, sastrawan memberi makna loewat kenyataan yang dapat diciptakannya denagan bebas, asal tetap dalam rangka konvensi kebebasan, kesastraan, dan sosio-kebudayaan yang dipahami pembaca. Dunia yang diciptakannya adalah dunia alternatif dan alternatif terhadap kenyataan hanya mungkin dibayangkan berdasarkan pengetahuan kenyataan itu sendiri (Ibid, 1984: 219-248).  

Minggu, 22 November 2015

Karangan Deskriptif


Isi Kamar

Kamar saya persegi panjang, tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Di dalamnya terdapat satu buah tempat tidur panjang dengan ukuran sedang, di atas kasur tersimpan dua bantal untuk kepala saat sedang tidur dan satu bantal guling. Lalu di dekatnya ada dua buah boneka hello kitty, yang pertama boneka hello kitty berbaju warna merah dan memakai pita di atas kepala dengan warna merah menyala, kemudian memegang bantal kecil berbentuk hati bertuliskan I LOVE YOU, dan jika dipegang kainnya lembut sekali.
Boneka hello kitty yang kedua sedikit lebih besar dari yang pertama, namun sama-sama memakai baju merah, tapi ini tidak memakai pita serta tubuh dan wajahnya yang berwarna putih tidak seputih boneka hello kitty yang pertama. Kemudian boneka selanjutnya adalah boneka berwarna biru, semua badannya berwarna biru, warna dalam dari daun telinganya berwarna merah muda, berkuku tajam, giginya putih dan rapi terlihat karena boneka ini menampakan gigi, mengenakan baju setengah badan berwarna coklat dengan bertuliskan stich. Boneka ini adalah tokoh kartun di film berjudul stich yang hidup di pesisir pantai bersama anak perempuan.
Jika menghadap ke pintu, di tembok sebelah kiri tergantung beberapa tas, ada tas khusus untuk kuliah dan tas kecil untuk main di luar kegiatan kuliah. Kemudian terdapat topi pantai yang mempunyai tiga warna, lingkaran pertama berwarna coklat, lingkaran kedua berwarna merah muda, dan lingkaran ketiga berwarna biru muda, diligkaran terakhir dililitkan sbuah bunga berwarna coklat senada. Persis di pinggir topi, terdapat lemari baju berwana coklat dengan dua pintu, lemari tersebut disimpan dengan dilekatkan pada tembok. Di sebelahnya ada tempelan pada tembok yaitu tokoh kartun tinkerbell peri bersayap sedang duduk di atas pohon yang sudah tumbang.
Di depan lemari terdapat satu meja, di atasnya saya simpan tiga deretan buku. Deretan pertama ada beberapa buku sastra, seperti antologi puisi, kumpulan cerpen, dan novel. Didereran kedua terdapat buku-buku mata kuliah sastra, seperti prosa fiksi, apresiasi puisi, dan lain-lain. Dideretan ketiga terdapat buku untuk mata kuliah bahasa, seperti morfologi, fonologi, dan sebagainya. Kemudian deretan paling ujung ada lampion berbentuk rumah bergambar hello kitty berwarna merah, itu adalah hadiah dari ayah ketika saya masih kecil. Di sebelahnya ada kumpulan kelopak bunga mawar dan melati yang telah kering dan sudah diawetkan disimpan dalam gelas panjang berwarna putih, itu dibeli oleh mama di luar kota ketika kami sedang liburan.
Kemudian ada dua cangkir bergambar yang dijadikan untuk tempat penyimpanan alat tulis. Cangkir pertama sedikit tinggi bergambar kartun laki-laki yang sedang duduk dan membaca buku di malam hari, diisi oleh pensil yang mempunyai kepala berbentuk wajah manusia, kemudian ada bunga mawar plastik dan bunga edelweis dari gunung gede pemberian dari teman. Cangkir kedua lebih pendek dari cangkir pertama, diisi oleh beberapa spidol warna, pulpen, gunting, hekter, dan spidol hitam. Lalu ada tempat untuk menyimpan aksesoris berwarna merah muda berbentuk hati, di dalamnya ada kalung, gelang, dan aksesoris lainnya, di atasnya saya simpan pajangan yang berbentuk bundar, didalamnya ada hello kitty dan air, kemudian disiram dengan manik-manik berwarna-warni, itu adalah hadiah dari teman saat ulang tahun kemarin. Lalu ada macam-macam alat make up, mulai dari bedak, maskara, lipstik, minyak wangi, dan lain sebagainya.








Karangan Deskriptif

Senin, 16 November 2015

Cerpen Kubah

Kubah

Ahmad Tohari

KAWAN! Maukah kau menemaniku duduk-duduk santai mengintip datangnya fajar atau melihat senja yang melukis cakrawala? Aku yakin, kau akan betah duduk berlama-lama meski tak ada makanan atau minuman di samping kita. Akan aku tunjukkan manifestasi keindahan yang akan tampak sangat indah jika dilihat dari tempat itu. Keindahan yang hanya akan membuatmu melongo melebarkan bibir dan mengucapkan Subhanallah. Pasti.
Aku ingin, ada kubah di atas rumahku. Memiliki rumah seperti musala atau masjid adalah mimpiku; melihat orang-orang tanpa sungkan keluar masuk untuk melaksanakan kewajiban mereka, berzikir, atau membaca Alquran. Betapa damainya jika di setiap ruang disesaki gema Alquran. Aku ingin melihat rumahku selalu ramai, seperti masjid yang tak pernah sepi jika panggilan salat berkumandang.
Lama aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya kepada orang tua. Tetapi, sampai saat ini, kesempatan itu belum juga datang. Tak jarang keinginan itu aku bawa lelap. Bahkan, ketika aku terbaring sakit, ibuku mengatakan bahwa aku pernah mengigau ingin memiliki kubah. Tetapi, waktu itu, dalam waktu sadar, aku tetap tak bisa mengatakannya. Kata-kataku tercekat oleh penyakit amandel yang bersarang di tenggorokanku.
Setelah dua bulan sembuh, kesunyian menggergoti kehidupanku. Aku tak sempat mengatakan bahwa aku ingin membangun kubah di atas rumahku. Bapak telah pergi ke Jakarta untuk menjadi seorang buruh bangunan. Ibu, tanpa persetujuan dan sepengetahuan bapak, bersedia menerima ajakan paman berangkat ke luar negeri untuk menjadi TKW. Napasku dititipkan kepada kakek dan nenek.
Lagi-lagi, kesepian kian menginjakku. Dua bulan setelah kepergian ibu, kakek menutup mata. Di rumah itu hanya tinggal dua kisah, aku dan nenek.
***
Subuh belum lama pergi. Aku percikkan segelas air ke mukaku dan bergegas menunaikan salat subuh di masjid. Setelah itu, aku tidak langsung pulang, kawan! Telah menjadi kebiasaanku menaiki tangga menara masjid, lalu mengintip fajar sambil bersandar pada kubahnya.
Kadang, percikan cahaya fajar mengingatkanku pada orang tua yang dulu selalu mengajakku salat berjamaah. Aku ingat saat-saat ibu mencium tangan bapak dan aku mencium tangan keduanya setelah salat. Ya, kawan! Selama masih ada mereka, aku selalu bangun sebelum ayam jantan berkokok dua kali.
Begitulah! Setelah percikan cahaya itu meluas atau ada suara lantang nenek menyuruhku turun, pertanda air hangat untuk mandi sudah siap, barulah aku turun. Jika demikian, nenek selalu menyambutku dengan marah-marah. Nenek mengatai aku dengan sebutan anak tuli karena tak pernah mendengar larangannya.
“Sudah berapa kali aku katakan, jangan naik ke sana,” katanya sambil menenteng kupingku. Aku meringis. Meskipun perempuan tua itu terbilang rapuh, tak ada kekuatan di tanganku untuk melepas tangannya di kupingku. Aku tak bisa berkata “ah” sekalipun.
Di perigi tersedia sebak air hangat. Nenek melucuti pakaianku satu per satu. Byur, byur! Secebok-dua cebok air mengguyur badanku. Nenek mengerayami tubuhku dengan sabun dan mengucek-ucek rambutku.
Byur! Secebok air kembali tumpah. Segar sekali!
Matahari terus menebar kehangatan. Di atas lincak, nenek menyiapkan nasi jagung dengan lauk dhukduk (ikan asin). Kadang, aku tak berselera melahap hidangan nenek. Lauknya sering gosong. Tapi, nenekku adalah yang terbaik di antara orang-orang yang pernah berada di dekatku. Nenek masih begitu tegar di usianya yang senja. Aku bangga dengannya, kawan!
“Nek, aku kangen bapak, kangen ibu.”
“Makan dulu! Nanti kau terlambat sekolah. Tak baik berbicara sambil makan,” katanya sambil membungkus secepok nasi bekalku ke sekolah dengan daun kelapa. Nenek selalu memotong keluh rinduku. Entahlah! Dia selalu ber-sikap acuh ketika aku bertutur tentang bapak atau ibu.
***
Kawan, hari ini bapakku akan pulang dari Jakarta. Kata nenek, bapak akan membawa oleh-oleh yang banyak dan segepok uang untuk membangun rumahku baru. Inilah kesempatanku untuk mengutarakan keinginanku, meminta bapak membangun kubah di atas rumahku yang baru. Di dapur nenek menyiapkan masakan-masakan enak demi menyambut kedatangan anak satu-satunya itu.  Dhukduk berganti opor ayam, kangkung berganti bayam, dan nasi jagung berganti nasi putih. Kami bertiga akan melahap bersama-sama dalam satu tawa. Tapi, sayang, ibu dipastikan tak ada. Oh, betapa lengkapnya kebahagiaanku jika ada ibu.
Belum habis asap membubung di dapur, bapak duduk di kursi rumah. Aku dan nenek dibuat terkejut. Kerinduanku membuncah. Aku berlari, melabrak, dan jatuh di pelukannya. Dua kantong plastik hitam di tangan bapak terlepas. Bapak, betapa aku merindukanmu. Aku ingin bapak tak jauh dari langkahku. Aku ingin bapak dan ibu seperti dulu, selalu mengajakku salat bersama. Aku sudah bisa salat dengan benar sebagaimana diajarkan bapak. Aku hafal doa iftitah. Aku lancar mengaji. Aku juga fasih mengatakan nama “Allah” dengan nada “L” tebal. Aku tidak lagi mengeluarkan suara “Aulah” jika menebalkan nama-Nya.
Bapak membawakanku oleh-oleh tiga buah guci ukuran kecil. Guci-guci itu lucu dan imut, kawan. Dua guci berbentuk gajah dan satunya lagi berbentuk panda sedang duduk bersila. Selain itu, bapak membawakanku sebuah pistol yang akan mengaung gagang bila pelatuknya ditarik dan di sepanjang sisinya berpendar cahaya kerlap-kerlip.
“Anakku harus menjadi jagoan.” Bapak mengusap rambutku. Dia mengangkatku tinggi-tinggi. Aku merasa terbang.
Malamnya, aku ingin pipis. Tetapi, aku takut keluar dan mengajak nenek pergi ke selokan. Di luar sana bapak mengata-ngatai nenek dengan nada kasar. Bapak marah setelah tahu bahwa ibu bekerja tanpa sepengetahuannya. Kadang, suara itu diselingi bunyi benda jatuh. Entahlah, apa itu! Aku ngeri. Aku takut. Aku berlari ke atas ranjang dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut.
Tanpa disadari, aku terlelap dalam kecekaman. Yang terakhir aku ingat adalah ketika aku membungkus diri dalam selimut. Aku membuka mata. Lelah sekali. Cahaya matahari menembus kamar dan jatuh pada dua kakiku. Astaga! Aku belum salat subuh. Di mana nenek? Kenapa dia tak membangunkanku.
Aku mencari keberadaannya. Ternyata, nenek duduk di emperan. Matanya masih sembap. Tak ada kata terucap. Mematung sendiri. Aku kembali teringat pada suara benda pecah tadi malam.
“Nenek?” Nenek memelukku. Erat.
Aku merasa ada air yang jatuh di punggungku. Ya! Air mata nenek. Mengapa nenek menangis? Mungkinkah karena hal semalam.
“Bapak di mana?” Aku sempat lupa kalau saat ini bapak berada di rumah.
Nenek tak segera menjawab. Aku terjebak dalam kebingungan. Tapi, akhirnya….
“Bapakmu sudah balik ke Jakarta,” katanya sambil me-nahan air yang hampir kembali tumpah.
Oh, kawan, suara pecahan itu kembali terngiang di batok kepalaku. Secepat itukah bapak pergi? Padahal, aku belum sempat mengatakan bahwa aku ingin memiliki kubah. Bapak…  oh, mungkin, bapak belum melangkah amat jauh. Segera aku berlari meninggalkan nenek sendirian. Aku menaiki menara masjid. Tetapi, saat tiba di atas kubah, aku tak melihat jejaknya. Yang aku temukan hanyalah keindahan surya. Sayang, aku tak sempat memikirkan keindahan itu. Kepergian bapak terlalu memukul hati, seperti suara pecahan tadi malam.
***
Kedatangan ibu menumbuhkan asaku setelah kepergian bapak dua bulan lalu. Tak banyak memang oleh-oleh yang dibawanya. Tetapi, kata nenek, ibu membawa segepok uang lebih banyak daripada yang bapak bawa. Ibu berjanji membelikanku baju baru, seragam, tas, serta sepatu baru demi menyambut kenaikan kelasku dari kelas III ke kelas IV MI. Ibu juga akan menuruti segala permintaanku.
“Ibumu akan membangun rumah baru untuk kita,” kata nenek sebelum aku beranjak tidur.
“Nek, kalau nenek tak keberatan, malam ini aku ingin tidur bersama ibu.” Aku kangen belaian lembut ibu.
“Tentu, Nduk. Sebentar, aku akan memanggilnya.” Nenek pergi setelah mengusap kepalaku.
Tak lama berselang, ibuku datang. Dia telentang miring di samping kiriku. Matanya menatap teduh. Aku sangat rindu sekali tatapan mata itu. Aroma parfum merebak dari sekujur tubuhnya. Malam itu usia ibu bertambah muda. Banyak memang perbedaan yang aku temui setelah ibu bekerja menjadi TKW. Ibu lebih cantik, lebih menarik, dan penampilannya lebih elegan. Selama kedatangannya, aku tak pernah melihat ibu memakai daster panjang lagi serta kerudung yang selalu melingkar di kepalanya. Kini dia lebih suka memakai kaus ketat yang membuat dua buah dadanya terlihat mengeras. Setiap pagi ibu juga tak pernah lupa melumuri bibirnya dengan lipstik dan memakai bedak yang membuat pipinya merona.
“Kau sudah besar rupanya,” kata ibu dengan lembut.
“Ibu, katanya, ibu akan membuatkanku rumah yang baru?” Aku tak sabar lagi mengatakan keinginanku.
“Bukan hanya rumah baru, tapi juga istana yang megah untukmu.” Bibirnya mengembang.
“Bolehkan aku meminta sesuatu?”
“Tentu, Sayang.”
“Aku ingin ibu membangun kubah pada rumahku nanti.”
Ibu terkejut.
“Kubah? Untuk apa?”
“Aku ingin melihat matahari terbit dan tenggelam dari atas kubah. Aku ingin merasa berada di musala atau di dalam masjid ketika berada di rumah.” Aku tak bisa mengatakan bahwa sesungguhnya hidupku kesepian. Aku ingin rumahku layaknya masjid yang selalu didatangi banyak orang.
“Jika itu memang keinginanmu, akan aku laksanakan.” Tangannya semakin lembut membelai rambutku. Segitu mudahkah permintaanku dikabulkan? Ah, masa bodoh.
“Apakah kau mau aku dongengkan sebuah cerita tentang negeri seberang?” tambahnya lagi.
Ya! Aku mau.”
Ciri khas ibu sebagai penutur sejati tetap tidak hilang. Malam itu ibu mengantarku pada mimpi yang indah. Ceritanya melambungkanku ke angkasa. Memetik satu bintang di sana. Namun, saat subuh berkumandang hingga fajar dalam separo perjalanan, ibu masih mendengkur dengan kerasnya. Dia tidak seperti dulu yang selalu membangunkanku untuk melaksanakan salat subuh bersama.
***
Mimpiku selama ini sudah terwujud, kawan. Rumahku kini serupa masjid. Jika dilihat dari depan, belakang, samping kanan, atau samping kiri pasti orang-orang akan menyebut rumahku adalah masjid. Penduduk yang bukan orang asli di kampungku sering terkecoh saat hendak menunaikan salat. Tapi, dengan senang hati, aku persilakan saja mereka menunaikan kewajibannya. Aku tak perlu lagi memanjat menara hanya untuk duduk-duduk di samping kubah untuk menyambut datangnya fajar atau melambaikan tangan pada senja. Kubah itu berwarna biru langit. Seperti kebanyakan kubah lainnya, di atasnya ada lambang bulan sabit yang menimang bintang.
Kawan, seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, mimpiku itu berdiri di atas kesunyianku, jauh sebelum rumah dan kubahku dibangun, ibu kembali merantau ke negeri orang. Kata dia, majikannya hanya memberi waktu setengah bulan untuk pulang ke Indonesia. Itu pun ditempuh dengan negosiasi yang sangat alot.
Tetap saja di tengah keramaian orang yang melaksanakan salat itu, di sudut yang berbeda aku merasakan sebuah kesepian. Kedudukan bapak dan ibu tak bisa tergantikan oleh mereka. Aku harap, jika aku sudah bosan menatap kisah kesendirianku, rumahku akan menjadi masjid. Oh, betapa indahnya. (*)
 .
.
Fandrik Ahmad adalah koordinator penerbitan, publikasi, dan kepustakaan Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Cerpen ini didedikasikan untuk Sanie B. Kuncoro. Semoga cepat sembuh sehingga bisa berkunjung ke Sumenep.
 .

Kamis, 29 Oktober 2015

Artikel Kenakalan Remaja


Kenakalan Remaja
            Faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam kasus kenakalan remaja, dikarenakan gaya hidup remaja yang berekonomi rendah akan menyesuaikan dengan lingkungan masyarakat yang mempunyai gaya hidup serupa. Banyak remaja yang melampiaskan kenakalan mereka melalui pola perilaku diluar batas, bisa dengan berpenampilan yang tidak sesuai syariat agama atau sudah tidak hormat lagi kepada orang tua.
            Pergaulan bebas remaja juga menjadi pusat perhatian masyarakat karena hal itu mencerminkan akhlak yang kurang baik dan dipandang tidak bermoral. Selain berdampak pada diri remaja itu sendiri, masyarakat juga takut berdampak pada lingkungan sekitar. Macam-macam pergaulan bebas remaja yang marak dilakukan, seperti sering keluar malam hanya untuk berkumpul dengan teman-temannya. Apalagi remaja wanita yang keluyuran malam sambil merokok dipinggir jalan, tak jarang pula ada yang beradegan mesra di tempat-tempat umum. Minuman keras pun selalu tersedia di dalam perkumpulan yang menghabiskan waktu malam dengan sia-sia. Kenakalan remaja dipengaruhi juga karena kurangnya perhatian orang tua, entah karena orang tua sedang sibuk dengan pekerjaannya sampai tidak sempat memperhatikan perkembangan anak, atau orang tua lah yang terlalu membebaskan sang anak dalam pergaulannya.
            Ada juga faktor dari masalah keluarga yang menjadi beban remaja. Seperti orang tua yang telah bercerai, atau kedua orang tua yang sering bertengkar di rumah membuat anak tidak betah dan lebih memilih menghabiskan waktu diluar rumah, dengan berbagai teman yang berlatar belakang berbeda, misalnya teman yang mempunyai masalah yang sama akan lebih nyaman bercerita mengenai masalah keluarga dan akan melakukan hal-hal yang membuat remaja lupa segala masalah yang menderanya.
            Mengatasi kenakalan remaja bisa dengan memasukkannya ke sekolah yang berbasis agama, mengarahkannya untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat atau sekolah yang baik. Diberi pengarahan oleh orang tua, karena bagaimana pun bimbingan orang tua sangat penting untuk perkembangan seorang anak, dalam hal ini orang tua harus mampu menjadi pendengar yang baik untuk mendengarkan apa saja keluh kesah yang dirasakan anaknya. Buat anak merasa nyaman dengan memberi solusi atau nasihat tentang apa yang telah diceritakan oleh anak. Selain membuat anak tenang, itu juga akan membangun kedekatan yang lebih kuat antara anak dan orang tua.


Daftar Pustaka
Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Kalimat Efektif. Bandung: PT Refika Aditama
Akhaidah Sabarti, G. Maidar dkk. 2003. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indoesia.
          Jakarta: Erlangga.
Alwi, Hasan. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.



Karangan: Narasi



Revisi Buku
1.      KBBI
2.      Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia
3.      Ejaan Yang Disempurnakan
4.      Kalimat Efektif
5.      Pedoman Penulisan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
6.      Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
7.      Kamus Kata Baku Bahasa Indonesia
8.      Kelas Kata Dalam Bahasa Indonesia